Ghibah adalah menceritakan aib orang lain, dimana
orang yang dibicarakan itu tidak ada di saat pembicaraan.
Perbuatan ghibah
ini jelas dilarang Islam sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
|
Artinya :
"Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu, memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang." – (QS.49:12)
Ghibah dibolehkan ?
Ghibah menurut hokum dasarnya jelas diharamkan. Namun ada model ghibah tersendiri
yang dibolehkan jika ada tujuan syar’I , yaitu jika memenuhi salah satu dari
enam keadaan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam
Abu Zakariya An-Nawawi ( Imam Nawawi ) berikut :
1. Mengadukan tindak kezaliman kepada penguasa atau
pada pihak yang
berwenang. Misalnya mengatakan,” Si Fulan telah menzalimiku,”
2. Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu
perbuatan mungkar, dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut
kembali ke jalan yang benar. Misalnya, meminta pada orang yang berkuasa
menghilangkan suatu kemungkaran. Contoh : “Si Rahmat telah melakukan tindakan
kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar terlepas dari tindakannya itu.
3. Meminta fatwa kepada seorang mufti, misalnya
seseorang bertanya kepada mufti : “ Si Fulan telah menzalimiku demikian.
Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan ?
4. Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu
kejelekan, seperti mengungkap buruknya hafalan seorang perawi hadits.
5. Membicarakan orang yang jelas-jelas berbuat
kesyirikan, kemaksiatan, atau kefasikan terhadap kesyirikan, kemaksiatan, atau
kefasikakn yang ia lakukan, bukan pasa masalah lainnya.
6. Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah
lazim dengannya, seperti menyebut Fulan yang buta dengan “ Si Buta”. Namun jika
ada ucapan yang bagus , itu lebih baik (Syarh
Shahih Muslim , 16: 124-125)
Kebolehan model ghibah di atas
juga terkait dengan hadits shahih berikut : “ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda :
“Barang siapa
diantara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah / mencegah dengan
tangannya (kekuasaan). Jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (secara
lisan). Dan jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah
selemah-lemahnya iman,” (HR. Muslim)
Hadits di atas memberikan
perintah wajibnya beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Karena dengan hal itulah
kondisi umat manusia dan masyarakat suatu negeri akan menjadi baik. Melarang
kemungkaran itu memiliki beberapa sesuai dengan kemampuan masing-masing. Maka
barag siapa yang sanggup melakukan salah satunya, maka wajib bagi dirinya untuk
menempuh cara itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar