Rabu, 19 Oktober 2016

GHIBAH


Ghibah adalah menceritakan aib orang lain, dimana orang yang dibicarakan itu tidak ada di saat pembicaraan. 

Perbuatan ghibah ini  jelas dilarang Islam sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah :






يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Artinya :

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu, memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang." – (QS.49:12)

Ghibah dibolehkan ?

Ghibah menurut  hokum dasarnya jelas  diharamkan. Namun ada model ghibah tersendiri yang dibolehkan jika ada tujuan syar’I , yaitu jika memenuhi salah satu dari enam keadaan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam  Abu Zakariya An-Nawawi ( Imam Nawawi ) berikut :


1.    Mengadukan tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang 
      berwenang.  Misalnya mengatakan,” Si Fulan telah menzalimiku,”

2.  Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar, dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali ke jalan yang benar. Misalnya, meminta pada orang yang berkuasa menghilangkan suatu kemungkaran. Contoh : “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar terlepas dari tindakannya itu.

3.   Meminta fatwa kepada seorang mufti, misalnya seseorang bertanya kepada mufti : “ Si Fulan telah menzalimiku demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan ?

4.   Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan, seperti mengungkap buruknya hafalan seorang perawi hadits.

5.  Membicarakan orang yang jelas-jelas berbuat kesyirikan, kemaksiatan, atau kefasikan terhadap kesyirikan, kemaksiatan, atau kefasikakn yang ia lakukan, bukan pasa masalah lainnya.

6.   Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah lazim dengannya, seperti menyebut Fulan yang buta dengan “ Si Buta”. Namun jika ada ucapan yang bagus , itu lebih baik (Syarh Shahih Muslim , 16: 124-125)

Kebolehan model ghibah di atas juga terkait dengan hadits shahih berikut : “ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah / mencegah dengan tangannya (kekuasaan). Jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (secara lisan). Dan jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman,” (HR. Muslim)

Hadits di atas memberikan perintah wajibnya beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Karena dengan hal itulah kondisi umat manusia dan masyarakat suatu negeri akan menjadi baik. Melarang kemungkaran itu memiliki beberapa sesuai dengan kemampuan masing-masing. Maka barag siapa yang sanggup melakukan salah satunya, maka wajib bagi dirinya untuk menempuh cara itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar